Sabtu, 31 Agustus 2013

Posted by Unknown On 06.56
Hai guys, ini cerpen pertama yang aku publikasikan loh..jadi maaf yaa kalau typo bertebaran dimana-mana ataupun kosa kata yang masih random banget :D


Delusi

“Hei, apa yang kau lakukan di dalam kamarku?” ujarku pada sebuah bayangan yang kini tengah bertengger di jendela kamarku “Hei, aku bertanya padamu. Apa yang sedang kau lakukan di kamarku? Tidak bisakah kau berhenti menggangguku setiap malam? Aku ingin istirahat” ujar ku sekali lagi, tapi bayangan itu hanya bergeming. Bayangan hitam kelam itu, selalu mengintai ku setiap malam menjelang. Entah apa yang dia lakukan di kamar ku saat aku terlelap menjelajah luasnya alam mimpi. Bayangan itu, tak pernah mau berbicara denganku. Sudah hampir 5 tahun aku tak melihatnya. Semenjak aku mengenal Zello, bayangan itu entah pergi kemana. Dan sekarang bayangan hitam itu kembali muncul disaat Zello tidak berada di samping ku untuk waktu yang lama. Aku merasa tidak nyaman setiap kali sosok hitam itu menatapku, seakan dia ingin mengatakan sesuatu tapi dia tidak dapat mengatakannya padaku. Hampir 1 minggu lebih dia mengikuti kemanapun aku pergi, bahkan sekarang saat aku sedang berada di Kampus. Dia juga masih mengikutiku “Sebenarnya apa mau mu? Kenapa kau terus menguntitku?” bayangan itu masih saja bergeming. Kupercepat langkahku, setengah berlari menghindarinya tapi tubuhku menghantam sesuatu “Aduh, maaf. Aku enggak sengaja” ujarku sembari mencoba berdiri. Kulihat orang yang ku tabrak tadi, seorang gadis berparas cantik. Kulitnya kuning langsat, rambutnya hitam panjang bergelombang. Sepertinya aku baru melihatnya hari ini “Maaf kamu anak baru?” Dia hanya tersenyum dan menangguk “Ambil jurusan apa?” tanyaku sekali lagi “Jurusan seni, kamu?” jawabnya “Sama, aku juga seni. Nama kamu siapa?” Mataku masih menatap lekat paras gadis itu “Abel. Kamu?” jawabnya “Aku Annabel” Berhubung aku dan Abel satu jurusan, kami pun memutuskan berjalan bersama menuju ruang kuliah. Selama aku berjalan di sampingnya, aku merasakan  ada sesuatu yang aneh. Dan baru aku sadar bayangan itu telah menghilang lagi entah kemana. Mungkin bayangan itu lelah menggangguku seperti halnya aku yang lelah terus di ganggunya.
Semenjak kehadiran Abel, bayangan itu tak pernah lagi datang menyambangiku setiap malam menyapa. Karena itu lah, aku dan Abel menjadi sering bersama. Kami sering nongkrong bersama, Abel juga sering bertandang ke rumahku dan sesekali dia menginap di rumah ku. Abel sangat memahamiku, begitupun sebaliknya. Aku sangat memahami Abel, padahal kami baru bertemu beberapa hari yang lalu tapi sepertinya kami telah saling mengenal cukup lama. Aku dan Abel pun memiliki hobi yang sama, kami sama-sama suka melukis. Menumpahkan setiap cerita ke dalam sebuah lukisan, perbedaannya hanyalah hasil akhir lukisan kami. Lukisan ku lebih kelam, setiap warna yang tertuang memiliki arti kesedihan sedangkan Abel setiap warna yang dia goreskan diatas kanvas selalu berakhir lembut dan ceria. Aku dan Abel adalah 2 kutub yang berbeda, aku tomboy sedangkan Abel sangatlah lembut tapi jika kami di satukan kami akan sangat merekat. Malamku mulai normal, tak pernah lagi kulihat bayangan hitam yang selalu bertengger di jendela kamarku. Dulu Zello selalu mewanti-wantiku untuk tidak menggubris bayangan hitam itu tapi bayangan itu terlalu mengganggu. Dan sekarang setelah bayangan itu pergi aku merasa sangat merindukan sosok
Zello, sudah 2 minggu Zello bertugas keluar kota. Aku tidak pernah tau apa pekerjaan Zello sebenarnya yang jelas dia banyak mengumpulkan data-data orang, entah itu untuk apa. Zello lebih tua 4 tahun dariku, sudah hampir 5 tahun ini Zello menjadi kekasihku tapi aku tak pernah ingat bagaimana awal mulanya aku bertemu dengan Zello dan menjalin tali asmara ini. Malam kian larut tapi mata ini tak kunjung mau terpejam, aku memutuskan pergi ke dapur untuk membuat secangkir coklat panas mungkin dengan menengguk secangkir cokelat panas aku akan lebih mudah terpejam. Karena penerangan yang minim di dapur, aku tak melihat ada pisau di sebelah rak cangkir. Sekilas aku melihat ada cairan menetes, entah apa itu. Kulangkahkan kakiku menuju kamar mandi untuk membasuh cairan di tanganku. Sesampainya di kamar mandi, kulihat tanganku bersimbah darah. Bau anyir begitu menggelitik hidungku, warna darah yang begitu merah sangatlah mengagumkan. Untuk sepersekian menit aku melihat darah yang terus mengalir dari tanganku, tanpa terasa kakiku melangkah kembali menuju kamar. Ku ambil silet di dalam tas dan mulai memperbesar robekan di tanganku, darah yang mengalir ku tampung dalam sebuah tutup toples. Ku mainkan warna merah darah itu di kanvas, warna yang begitu indah. Warna yang tidak pernah kutemukan dalam cat minyak, warna yang membuat lukisanku lebih hidup.
Keesokan harinya kutatap lukisan yang kubuat semalam, lukisan yang begitu cantik. Senyum puas terpatri jelas di wajahku, dan mulai sekarang aku akan terus menggunakan warna merah ini dalam setiap lukisanku.
haneure bitnadeon byeori
jeo meolli bitnadeon byeori
nae mame naeryeowannabwa

Petikan lagu Star milik Kang Minhyuk mengalun lembut dari speaker ponselku, kuraih ponsel yang tergeletak di meja. Di layar ponsel tertera nama Zello, segera ku angkat telepon dari Zello.

“Ya, Hallo Zello?” Sapaku kegirangan “Hallo Annabela, coba tengok keluar jendela” Ku sibakan tirai yang sedari tadi kututup, kulihat sosok pria di bawah sana. Sedang melambaikan tangan sambil membawa sebuket bunga. Secepat kilat aku berlari menuju pintu, di depan pintu Zello tengah berdiri membawa sebuket bunga krisan dan baby fresh. “Hallo Anna, gimana kabar kamu?” ucap Zello sembari menyodorkan sebuket bunga “Kok diem aja? Kabar kamu gimana?” ulangnya karena aku tak kunjung menjawab ucapannya. Air mata bahagia meluncur bebas dari mataku, ku peluk tubuh Zello “Kok nangis? Sedih ya ngeliat aku pulang?” Canda Zello “Aku kangen kamu, kamu lama banget perginya” ucapku terisak “Maaf deh, pekerjaan numpuk banget soalnya” ku lepas pelukanku dan mengambil bunga yang telah Zello bawakan dan disitulah Zello melihat bekas lukaku “Na, tangan kamu kenapa?” Tanya Zello cemas “Oh ini? Kemaren malem pas mau buat minuman kena pisau

Keesokan harinya aku bangun lebih pagi, ingin membuatkan sarapan untuk Zello sebelum aku berangkat kuliah. Ini memang bukan kali pertamanya aku memasak tapi aku masih tak dapat menjamin masakan ku dapat di terima perut semua orang. Menu sarapan yang akan ku buat hari ini hanyalah nasi goreng spesial dengan telur mata sapi, Zello sangat gemar makan telur mata sapi. Sudah 20 menit aku berkutat di dapur dan kini masakan ku pun sudah jadi, rasanya juga lumayan enak. Setelah semuanya selesai, aku bergegas pergi ke rumah Zello untuk memberikan sarapan buatanku ini. Ku ketuk pintu rumah Zello, tidak butuh waktu lama untukku menggu di bukakan pintu “Pagi Zello” Sapaku ceria “Tumben pagi-pagi kesini. Mau ngapain Na? Masuk dulu yuk?” balasnya “Enggak ah, aku ada mata kuliah pagi ini. Aku kesini cuma mau ngasih ini” ku sodorkan kotak makanan yang sedari tadi ku pegang “Di makan ya Lo. Buatanku loh. Ya udah aku berangkat dulu ya.” Senyum Zello merekah, tangannya terulur membelai rambutku lembut. Ini bagian yang sangat aku sukai saat aku bersama Zello, Zello selalu memeperlakukanku dengan lembut. Aku pun berpamitan pada Zello. Sebelum aku berpaling, ku lemparkan sebuah senyuman pada Zello. Zello membalas senyumanku dengan lambaian tangan.

Suasana di fakultasku tampak lengang, terang saja karena dosen yang seharusnya mengajar hari ini berhalangan hadir. Tau gitu tadi aku enggak usah berangkat kuliah aja. Batinku. Saat sedang berjalan menuju parkiran aku melihat sebuah selebaran yang di tempel di mading. Selebaran berisi perlombaan lukis dengan tema bebas, hadiahnya beasiswa penuh ke Universitas di Korea. Aku harus ikut perlombaan itu dan aku harus memenangkan perlombaan itu. “Mau ikut lomba ini ya Na” suara lembut itu mengagetkanku “Eh, Bel. Iya, aku mau ikut lomba itu. Aku pengen ngetes kemampuanku. Kamu ikut?” Aku tak tau sejak kapan Abel berdiri di sampingku dan ikut memandang selebaran itu “Emm, kayaknya enggak deh Na. Lagi unmood ngelukis. Ntar ajalah kalau mood ku bagus mungkin aku bakal ikut lomba ini. Dan aku bakal ngalahin kamu” Abel menoleh ke arahku sambil mengerlingkan mata, kami tertawa mendengar ucapan Abel “Hahaha, Enggak Na. Kamu tenang aja, aku enggak akan ikut kok. Aku enggak minat ambil beasiswa itu” pandangan Abel kosong, menatap jauh kedepan. “Kita ke sanggar lukis yuk?” tanpa mendengar persetujuanku, tangan Abel telah menggandeng tanganku. Menuntun langkahku menuju sanggar lukis. Sanggar lukis hari ini begitu sepi, tidak ada satu orang pun yang berada disini kecuali aku dan Abel. Di dalam sanggar terdapat dua buah kanvas, satu milikku dan satunya lagi milik Abel. Suasana begitu hening, aku dan Abel sibuk bermain dengan kuas dan cat minyak masing-masing “Duh Na, kayaknya aku harus pulang dulu deh. Aku ada acara. Aku tinggal gak apa-apa kan? Maaf banget ya” Abel telah melangkah menuju pintu, bersiap-siap pergi “Iya gak apa-apa kok Bel” Aku tersenyum ramah pada Abel “Bye Na” aku hanya membalasnya dengan lambaian tangan. Ku tengok lukisan Abel, lukisannya abstrak hanya terdapat beberapa warna tegas diantara warna-warna lembut itu. Lukisannya sangat bagus walau belum selesai sepenuhnya, kubandingkan lukisanku dengan lukisan Abel. Lukisanku hanya berwarna gelap, sangat tidak menarik. Lalu aku ingat warna merah dari darahku kemarin. Ku ambil pisau kecil yang selalu ku bawa di dalam tas, ku robek lagi bekas lukaku kemarin. Darah mulai bercucuran, tak kurasakan rasa sakit sedikitpun. Ku tampung darahku di palet, dan mulai ku goreskan darahku ke atas kanvas. Kupandangi lukisan ku yang kini sudah jadi dan ku bandingkan dengan lukisan Abel. Senyum kepuasan merekah di wajahku.

Malam ini, bayangan hitam itu kembali muncul di jendela kamarku “Apa yang kamu lakukan disitu? Aku kira kamu lelah menggangguku” Masih seperti dulu, bayangan itu hanya bergeming “Ah terserah kau saja, aku lelah bertanya padamu tapi kau tak pernah menggubris pertanyaanku” Ku rebahkan tubuh di atas ranjang, menatap langit-langit kamarku tapi aku sangat terkejut saat irisku mengunci bayangan itu. Sejak kapan bayangan itu berada di atasku, berputar-putar di langit-langit kamarku “Sebenarnya apa yang kau mau dariku?” Bayangan itu masih saja berputar-putar di atasku. Aku semakin lelah melihatnya, tapi aku masih tidak dapat memejamkan mataku. Pagi harinya mataku sedikit menghitam karena semalam aku tak dapat tidur dengan nyenyak. Bayangan itu terus saja berputar di atasku dan itu membuatku sangat tidak nyaman. Apa sebaiknya aku ceritakan saja pada Zello? Tentang bayangan hitam yang selama ini selalu menggangguku? Pikirku.  Tapi sepertinya tidak perlu, nanti Zello malah menganggap ku seperti anak kecil yang suka berfantasi.

Satu minggu telah berlalu, aku sudah memiliki 2 buah lukisan yang akan kirim dalam perlombaan. Waktu pengiriman kurang 3 hari lagi tapi aku masih merasa ada yang kurang dengan lukisanku. Aku masih terbayang lukisan baru Abel kemarin, lukisannya kemarin sangat berbeda. Sangat indah, sulit dijabarkan denga kata-kata. Aku mulai merasa tidak yakin dengan kemampuanku tapi aku harus tetap mengirimkan lukisanku besok. Toh Abel tidak mengikuti perlombaan ini jadi untuk apa aku merasa cemas? Hari ini, tidak ada mata kuliah. Aku merasa suntuk berada di kamar seharian. Ku ambil ponsel yang tergeletak di atas meja dan ku tekan tombol pemanggil “Zello” terdengar nada sambung dari seberang tapi hingga nadanya habis teleponku tak kunjung di angkat. Ku coba menelponnya sekali lagi tapi hasilnya sama, tidak ada jawaban. Kuulang teleponku sampai 4 kali tapi tetap saja Zello tidak mengangkat teleponku. Emosi mulai membuncah, akhir-akhir ini Zello sangat sulit kuhubungi begitu juga Abel. Aku beranjak dari tempat tidur menuju jendela, ku buka sedikit tirai jendela kamarku. Membiarkan seberkas cahaya menembus kamarku yang temaram. Diluar sana, kulihat seekor kucing kampung yang tengah melintas di depan rumah tetanggaku. Sepertinya kucing itu kelaparan dan ingin mencari makan disana tapi dia tidak akan mendapatkan makanan dan mungkin dia yang akan menjadi makanan karena tetangga ku memelihara seekor anjing. Benar saja, belum sempat kucing itu masuk ke halaman. Seekor anjing lebih dulu menerkamnya. Gigi-gigi anjing itu menancap pada perut kucing, merobek perut kucing itu hingga isinya terburai. Kucing itu tidak melakukan perlawanan sama sekali, mungkin kucing itu sudah lelah hidup dan memilih pasrah menjadi kudapan anjing sebelah. Anjing itu meninggalkan kucing yang kini tegeletak tak berdaya di jalan. Ususnya mencuat keluar, darah mengalir bebas dari robekan perutnya. Kulihat darah segar yang terus mengalir dari perut kucing itu, kuambil toples dan berlari keluar mendekati bangkai kucing itu. Kuangkat tubuhnya, dan masukkan darah yang mengalir itu ke dalam toples. Setelah terasa cukup, kubopong bangkai kucing itu dan ku buang bangkai itu di tempat sampah. Ususnya menjulur keluar, darahnya masih menetes. Meninggalkan noda merah pada bajuku. Ku amati darah kucing yang kini sudah berada di meja belajarku, darahnya tidak terlalu menarik seperti darahku kemarin. Tapi tetap saja aku akan menggunakan darah itu untuk melukis, untuk membuat lukisanku lebih hidup.

Sudah lebih dari 1 minggu Zello tidak menghubungiku, aku memutuskan untuk pergi ke rumahnya tapi sesampainya disana tidak ada seorangpun. Seorang tetangga memberitahuku bahwa Zello pergi ke tempat saudaranya seminggu yang lalu. Berhubung Zello pergi, aku kembali pulang ke rumah. Betapa terkejutnya aku, saat ku dapati lukisanku tergeletak di lantai. Tercabik-cabik, dan patah menjadi beberapa bagian. Aku berteriak histeris “Kau kenapa?” Suara itu, aku sangat mengenali suara itu. Ku balikan tubuh kea rah datangnya suara itu “Abel? Kamu ngapain disini?” ku tatap Abel yang bersandar pada pintu kamarku “Entahlah, aku hanya berkunjung ke rumahmu” ucapnya santai “Apa kamu yang menhgancurkan lukisanku?” Ku tatap nyalang Abel, sebuah baying hitam muncul dari belakang tubuh Abel. Bayangan yang selama ini terus menggangguku, mengikuti kemanapun aku pergi. “Kau, sebenranya siapa kau Bel? Kenapa bayangan itu membuntutimu?” Suaraku bergetar karena menahan tangis “Kau tak ingat padaku? Aku adalah temanmu dulu? Teman semasa kecil yang selalu menemanimu kemanapun kamu pergi. Teman yang telah kamu lupakan semenjak kamu mengenal Zello” kini Abel duduk disebelahku “Teman masa kecil? Zello? Darimana kamu tahu tentang Zello? Tidak kamu pasti tidak nyata Bel. Kamu hanya halusinasiku” Ku tutup telinga agar tak data lagi mendengar kata-katanya tapi percuma saja, bahkan aku masih dapat mendengar detak jantungnya seolah detak jantung kami menyatu “Tidak Anna, aku ini nyata. Aku adalah teman masa kecil yang selama ini kamu tinggalkan dan kamu acuhkan. Dan Zello, asal kamu tahu. Dia adalah kekasihku” Ucapnya sembari mengelus rambutku. Kebiasaan yang sering Zello lakukan padaku  “Tidak mungin kamu itu tidak nyata Abel dan Zello. Zello bukan kekasihmu! Zello itu kekasihku!” Aku berdiri, ku ambil pisau yang selalu ku simpan di dalam tas dan ku tancapkan pisau itu ke perut Abel beberapa kali hingga akhirnya Abel terkapar tak berdaya di kamarku. Darahnya mengalir di lantai kamarku, dan bayangan itu menghilang lagi. Saat aku akan menyembunyikan mayat Abel, tiba-tiba ponselku berdering. Di layar tertera nama Zello
“Halo Zello, aku pengen ketemu kamu sekarang”
“Iya, aku juga pengen ketemu kamu. Ini aku udah sampai di rumah kamu kok. Kamu cepetan bukain pintu ya”
Tanpa babibu, aku berlari menuju pintu dan membukakan pintu. Di luar Zello telah berdiri menatapku panik “Ya ampun Anna, perut kamu kenapa berdarah” membutuhkan beberapa detik bagiku mencerna kalimat Zello. Dan saat kumengerti apa yang Zello katakana, ku raba perutku dan benar saja. Perutku mengeluarkan darah, rasa nyeri menggerogoti tubuhku. Sejak kapan perutku berdarah? Bukankah seharusnya yang berdarah itu Abel? Pikirku. Aku berlari ke kamar melihat keadaan Abel, Zello mengikutiku dari belakang. Saat aku membuka pintu kamar, aku tak melihat mayat Abel. Lantai di kamarku bersih, tidak ada darah Abel yang ada hanya darah yang terus mengalir dari perutku. Kepalaku terasa pusing, tubuhku lemah. Kakiku tak dapat lagi menopang berat badanku dan BRUK! Akupun terjatuh pingsan.

Ku edarkan pandanganku kesekeliling, ruangan ini serba putih. Di tanganku tertancap selang infus. Sayup-sayup kudengar suara Zello di luar tengah berbincang dengan seseorang “Iya dok, memang Annabel sejak kecil mempunyai gangguan kepribadian. Dia dulu sering bercerita pada orang tuanya kalau dia memiliki teman bernama Abel. Dia bilang Abel sangat menyukai darahnya, jadi Anna sering menyakiti dirinya hanya untuk melihat darah keluar dari kulitnya. Kejadian itu berlangsung hingga Anna remaja, karena orang tuanya sangat khawatir pada kondisi Anna maka mereka membawa Anna ke tempat praktek saya. Awal mulanya semua berjalan lancar dok hingga kedua orang tau Anna meninggal dalam sebuah kecelakaan maut. Anna sangat terpukul karena kejadian itu dan terus mengurung diri di dalam kamar, sesekali dia melukai dirinya sendriri untuk mendapatkan rasa puas. Saya berusaha membuat dia melupakan kejadian masa lalunya dan itu berhasil. Sudah 5 tahun Anna melupakan temannya itu, tapi saya tidak mengerti kenapa Anna bisa kembali menciptakan tokoh Abel dalam hidupnya. Saya hanya berharap Anda dapat membantu saya mengobati Anna. Sekedar membuat Anna melupakan Abel” Aku baru ingat semuanya, awal mula perjumpaanku dengan Zello. Awalnya Zello adalah Psikiater ku tapi karena orang tuaku meninggal dalam sebuah kecelakaan maka Zello turut andil merawatku hingga akhirnya benih-benih cinta itu tumbuh di antara kami. Ya itu awal mula kisah kami tapi Abel. Aku masih tidak mengerti, apakah Abel hanya halusinasik saja atrau memang dia benar-benar ada?

5 hari aku di rawat di rumah sakit, dan setelahnya aku boleh pulang tetapi aku harus mengikuti sesi-sesi konsultasi dengan dokter yang merawatku. Konsultasi untuk memulihkan jiwaku, untuk membuatku melupakan Abel dan sepertinya berhasil. Aku sudah tidak lagi memikirkan Abel dan aku juga sudah tidak pernah melihat bayangan hitam itu lagi. Hari-hari ku kini menjadi sangat normal tanpa adanya Abel dan bayangan hitam yang selalu mengintiku kemanapun aku pergi. Dan pagi ini aku akan bertemu dengan Zello di Restaurant dekat kampusku, Zello bilang dia ingin mengatakan sesuatu. Kulangkahkan kakikku memasuki Restaurant yang tampak sepi pengunjung, kulihat Zello duduk di bangku ujung dekat jendela “Hai, lama nunggu ya?” Sapaku “Engga kok, cuma baru setengah jam” aku tertawa mendengar ucapan Zello walau sebenarnya memang benar, aku terlambat setengah jam dari perjanjian semula “Kamu mau ngomongin apa sih?” Zello nampak gugup, dia berusaha mengeluarkan sesuatu dari sakunya “Setelah kamu wisuda, kamu mau dampingin aku seumur hidup? Menjadi istriku?” diulurkannya sebuah kotak berisi cincin. Aku membekap mulut tak kuasa menahan rasa haru. Aku hanya mengangguk setuju, tak mampu berkata-kata. Air mata bahagia kembali membasahi pipiku. Ternyata ini bukan sekedar lunch tapi Zello memang sudah merencanakan ini untuk melamarku. Setelah makan siang aku dan Zello pergi ke toko buku mencari buku tentang sejarah seni lukis. Saat kulangkahkan kaki keluar Restaurant, diseberang kulihat seorang gadis berparas cantik, kulitnya kuning langsat, rambutnya hitam bergelombang dan kakinnya jenjang. Gadis itu menatap ke arahku dan tersenyum “Abel” bisikku “Ya Na. Kamu tadi ngomong apa?” ucap Zello “Eh, enggak Lo. Aku enggak ngomong apa-apa kok” jawabku, mataku masih tertuju pada gadis itu “yakin kamu enggak kenapa-kenapa?” tanyanya meyakinkanku “Iya Zello, aku enggak apa-apa” jawabku, ku ukir sebuah senyuman untuk meyakinkan Zello kalau aku baik-baik saja. Kami berjalan menuju parkiran dan saat itu pula gadis itu menghilang. Abel? Apa benar itu tadi Abel? Jadi Abel itu nyata? Entahlah…mungkin Abel memang nyata dan semua orang tidak ada yang percaya padaku kalau Abel itu nyata. Sampai bertemu di lain waktu Abel. Ucapku dalam hati..


~The End~



0 komentar:

Posting Komentar