Hai
guys, ini cerpen pertama yang aku publikasikan loh..jadi maaf yaa kalau typo
bertebaran dimana-mana ataupun kosa kata yang masih random banget :D
Delusi
“Hei, apa yang kau
lakukan di dalam kamarku?” ujarku pada sebuah bayangan yang kini tengah
bertengger di jendela kamarku “Hei, aku bertanya padamu. Apa yang sedang kau
lakukan di kamarku? Tidak bisakah kau berhenti menggangguku setiap malam? Aku
ingin istirahat” ujar ku sekali lagi, tapi bayangan itu hanya bergeming.
Bayangan hitam kelam itu, selalu mengintai ku setiap malam menjelang. Entah apa
yang dia lakukan di kamar ku saat aku terlelap menjelajah luasnya alam mimpi.
Bayangan itu, tak pernah mau berbicara denganku. Sudah hampir 5 tahun aku tak
melihatnya. Semenjak aku mengenal Zello, bayangan itu entah pergi kemana. Dan sekarang
bayangan hitam itu kembali muncul disaat Zello tidak berada di samping ku untuk
waktu yang lama. Aku merasa tidak nyaman setiap kali sosok hitam itu menatapku,
seakan dia ingin mengatakan sesuatu tapi dia tidak dapat mengatakannya padaku.
Hampir 1 minggu lebih dia mengikuti kemanapun aku pergi, bahkan sekarang saat
aku sedang berada di Kampus. Dia juga masih mengikutiku “Sebenarnya apa mau mu?
Kenapa kau terus menguntitku?” bayangan itu masih saja bergeming. Kupercepat
langkahku, setengah berlari menghindarinya tapi tubuhku menghantam sesuatu
“Aduh, maaf. Aku enggak sengaja” ujarku sembari mencoba berdiri. Kulihat orang
yang ku tabrak tadi, seorang gadis berparas cantik. Kulitnya kuning langsat,
rambutnya hitam panjang bergelombang. Sepertinya aku baru melihatnya hari ini
“Maaf kamu anak baru?” Dia hanya tersenyum dan menangguk “Ambil jurusan apa?”
tanyaku sekali lagi “Jurusan seni, kamu?” jawabnya “Sama, aku juga seni. Nama
kamu siapa?” Mataku masih menatap lekat paras gadis itu “Abel. Kamu?” jawabnya
“Aku Annabel” Berhubung aku dan Abel satu jurusan, kami pun memutuskan berjalan
bersama menuju ruang kuliah. Selama aku berjalan di sampingnya, aku
merasakan ada sesuatu yang aneh. Dan
baru aku sadar bayangan itu telah menghilang lagi entah kemana. Mungkin
bayangan itu lelah menggangguku seperti halnya aku yang lelah terus di
ganggunya.
Semenjak kehadiran
Abel, bayangan itu tak pernah lagi datang menyambangiku setiap malam menyapa.
Karena itu lah, aku dan Abel menjadi sering bersama. Kami sering nongkrong
bersama, Abel juga sering bertandang ke rumahku dan sesekali dia menginap di
rumah ku. Abel sangat memahamiku, begitupun sebaliknya. Aku sangat memahami
Abel, padahal kami baru bertemu beberapa hari yang lalu tapi sepertinya kami
telah saling mengenal cukup lama. Aku dan Abel pun memiliki hobi yang sama,
kami sama-sama suka melukis. Menumpahkan setiap cerita ke dalam sebuah lukisan,
perbedaannya hanyalah hasil akhir lukisan kami. Lukisan ku lebih kelam, setiap
warna yang tertuang memiliki arti kesedihan sedangkan Abel setiap warna yang
dia goreskan diatas kanvas selalu berakhir lembut dan ceria. Aku dan Abel
adalah 2 kutub yang berbeda, aku tomboy sedangkan Abel sangatlah lembut tapi
jika kami di satukan kami akan sangat merekat. Malamku mulai normal, tak pernah
lagi kulihat bayangan hitam yang selalu bertengger di jendela kamarku. Dulu Zello
selalu mewanti-wantiku untuk tidak menggubris bayangan hitam itu tapi bayangan
itu terlalu mengganggu. Dan sekarang setelah bayangan itu pergi aku merasa
sangat merindukan sosok
Zello, sudah 2 minggu Zello bertugas keluar kota. Aku tidak pernah tau apa pekerjaan Zello sebenarnya yang jelas dia banyak mengumpulkan data-data orang, entah itu untuk apa. Zello lebih tua 4 tahun dariku, sudah hampir 5 tahun ini Zello menjadi kekasihku tapi aku tak pernah ingat bagaimana awal mulanya aku bertemu dengan Zello dan menjalin tali asmara ini. Malam kian larut tapi mata ini tak kunjung mau terpejam, aku memutuskan pergi ke dapur untuk membuat secangkir coklat panas mungkin dengan menengguk secangkir cokelat panas aku akan lebih mudah terpejam. Karena penerangan yang minim di dapur, aku tak melihat ada pisau di sebelah rak cangkir. Sekilas aku melihat ada cairan menetes, entah apa itu. Kulangkahkan kakiku menuju kamar mandi untuk membasuh cairan di tanganku. Sesampainya di kamar mandi, kulihat tanganku bersimbah darah. Bau anyir begitu menggelitik hidungku, warna darah yang begitu merah sangatlah mengagumkan. Untuk sepersekian menit aku melihat darah yang terus mengalir dari tanganku, tanpa terasa kakiku melangkah kembali menuju kamar. Ku ambil silet di dalam tas dan mulai memperbesar robekan di tanganku, darah yang mengalir ku tampung dalam sebuah tutup toples. Ku mainkan warna merah darah itu di kanvas, warna yang begitu indah. Warna yang tidak pernah kutemukan dalam cat minyak, warna yang membuat lukisanku lebih hidup.
Zello, sudah 2 minggu Zello bertugas keluar kota. Aku tidak pernah tau apa pekerjaan Zello sebenarnya yang jelas dia banyak mengumpulkan data-data orang, entah itu untuk apa. Zello lebih tua 4 tahun dariku, sudah hampir 5 tahun ini Zello menjadi kekasihku tapi aku tak pernah ingat bagaimana awal mulanya aku bertemu dengan Zello dan menjalin tali asmara ini. Malam kian larut tapi mata ini tak kunjung mau terpejam, aku memutuskan pergi ke dapur untuk membuat secangkir coklat panas mungkin dengan menengguk secangkir cokelat panas aku akan lebih mudah terpejam. Karena penerangan yang minim di dapur, aku tak melihat ada pisau di sebelah rak cangkir. Sekilas aku melihat ada cairan menetes, entah apa itu. Kulangkahkan kakiku menuju kamar mandi untuk membasuh cairan di tanganku. Sesampainya di kamar mandi, kulihat tanganku bersimbah darah. Bau anyir begitu menggelitik hidungku, warna darah yang begitu merah sangatlah mengagumkan. Untuk sepersekian menit aku melihat darah yang terus mengalir dari tanganku, tanpa terasa kakiku melangkah kembali menuju kamar. Ku ambil silet di dalam tas dan mulai memperbesar robekan di tanganku, darah yang mengalir ku tampung dalam sebuah tutup toples. Ku mainkan warna merah darah itu di kanvas, warna yang begitu indah. Warna yang tidak pernah kutemukan dalam cat minyak, warna yang membuat lukisanku lebih hidup.
Keesokan harinya kutatap lukisan yang kubuat
semalam, lukisan yang begitu cantik. Senyum puas terpatri jelas di wajahku, dan
mulai sekarang aku akan terus menggunakan warna merah ini dalam setiap
lukisanku.
haneure bitnadeon byeori
jeo meolli bitnadeon byeori
nae mame naeryeowannabwa
Petikan
lagu Star milik Kang Minhyuk mengalun lembut dari speaker ponselku, kuraih
ponsel yang tergeletak di meja. Di layar ponsel tertera nama Zello, segera ku
angkat telepon dari Zello.
“Ya,
Hallo Zello?” Sapaku kegirangan “Hallo Annabela, coba tengok keluar jendela” Ku
sibakan tirai yang sedari tadi kututup, kulihat sosok pria di bawah sana.
Sedang melambaikan tangan sambil membawa sebuket bunga. Secepat kilat aku
berlari menuju pintu, di depan pintu Zello tengah berdiri membawa sebuket bunga
krisan dan baby fresh. “Hallo Anna, gimana kabar kamu?” ucap Zello sembari
menyodorkan sebuket bunga “Kok diem aja? Kabar kamu gimana?” ulangnya karena
aku tak kunjung menjawab ucapannya. Air mata bahagia meluncur bebas dari
mataku, ku peluk tubuh Zello “Kok nangis? Sedih ya ngeliat aku pulang?” Canda Zello
“Aku kangen kamu, kamu lama banget perginya” ucapku terisak “Maaf deh,
pekerjaan numpuk banget soalnya” ku lepas pelukanku dan mengambil bunga yang
telah Zello bawakan dan disitulah Zello melihat bekas lukaku “Na, tangan kamu
kenapa?” Tanya Zello cemas “Oh ini? Kemaren malem pas mau buat minuman kena
pisau
Keesokan
harinya aku bangun lebih pagi, ingin membuatkan sarapan untuk Zello sebelum aku
berangkat kuliah. Ini memang bukan kali pertamanya aku memasak tapi aku masih
tak dapat menjamin masakan ku dapat di terima perut semua orang. Menu sarapan
yang akan ku buat hari ini hanyalah nasi goreng spesial dengan telur mata sapi,
Zello sangat gemar makan telur mata sapi. Sudah 20 menit aku berkutat di dapur
dan kini masakan ku pun sudah jadi, rasanya juga lumayan enak. Setelah semuanya
selesai, aku bergegas pergi ke rumah Zello untuk memberikan sarapan buatanku
ini. Ku ketuk pintu rumah Zello, tidak butuh waktu lama untukku menggu di
bukakan pintu “Pagi Zello” Sapaku ceria “Tumben pagi-pagi kesini. Mau ngapain
Na? Masuk dulu yuk?” balasnya “Enggak ah, aku ada mata kuliah pagi ini. Aku
kesini cuma mau ngasih ini” ku sodorkan kotak makanan yang sedari tadi ku
pegang “Di makan ya Lo. Buatanku loh. Ya udah aku berangkat dulu ya.” Senyum
Zello merekah, tangannya terulur membelai rambutku lembut. Ini bagian yang
sangat aku sukai saat aku bersama Zello, Zello selalu memeperlakukanku dengan
lembut. Aku pun berpamitan pada Zello. Sebelum aku berpaling, ku lemparkan
sebuah senyuman pada Zello. Zello membalas senyumanku dengan lambaian tangan.
Suasana
di fakultasku tampak lengang, terang saja karena dosen yang seharusnya mengajar
hari ini berhalangan hadir. Tau gitu tadi aku enggak usah berangkat kuliah aja.
Batinku. Saat sedang berjalan menuju parkiran aku melihat sebuah selebaran yang
di tempel di mading. Selebaran berisi perlombaan lukis dengan tema bebas,
hadiahnya beasiswa penuh ke Universitas di Korea. Aku harus ikut perlombaan itu
dan aku harus memenangkan perlombaan itu. “Mau ikut lomba ini ya Na” suara
lembut itu mengagetkanku “Eh, Bel. Iya, aku mau ikut lomba itu. Aku pengen
ngetes kemampuanku. Kamu ikut?” Aku tak tau sejak kapan Abel berdiri di
sampingku dan ikut memandang selebaran itu “Emm, kayaknya enggak deh Na. Lagi unmood ngelukis. Ntar ajalah kalau mood ku bagus mungkin aku bakal ikut
lomba ini. Dan aku bakal ngalahin kamu” Abel menoleh ke arahku sambil
mengerlingkan mata, kami tertawa mendengar ucapan Abel “Hahaha, Enggak Na. Kamu
tenang aja, aku enggak akan ikut kok. Aku enggak minat ambil beasiswa itu”
pandangan Abel kosong, menatap jauh kedepan. “Kita ke sanggar lukis yuk?” tanpa
mendengar persetujuanku, tangan Abel telah menggandeng tanganku. Menuntun
langkahku menuju sanggar lukis. Sanggar lukis hari ini begitu sepi, tidak ada
satu orang pun yang berada disini kecuali aku dan Abel. Di dalam sanggar
terdapat dua buah kanvas, satu milikku dan satunya lagi milik Abel. Suasana
begitu hening, aku dan Abel sibuk bermain dengan kuas dan cat minyak masing-masing
“Duh Na, kayaknya aku harus pulang dulu deh. Aku ada acara. Aku tinggal gak
apa-apa kan? Maaf banget ya” Abel telah melangkah menuju pintu, bersiap-siap
pergi “Iya gak apa-apa kok Bel” Aku tersenyum ramah pada Abel “Bye Na” aku
hanya membalasnya dengan lambaian tangan. Ku tengok lukisan Abel, lukisannya
abstrak hanya terdapat beberapa warna tegas diantara warna-warna lembut itu.
Lukisannya sangat bagus walau belum selesai sepenuhnya, kubandingkan lukisanku
dengan lukisan Abel. Lukisanku hanya berwarna gelap, sangat tidak menarik. Lalu
aku ingat warna merah dari darahku kemarin. Ku ambil pisau kecil yang selalu ku
bawa di dalam tas, ku robek lagi bekas lukaku kemarin. Darah mulai bercucuran,
tak kurasakan rasa sakit sedikitpun. Ku tampung darahku di palet, dan mulai ku
goreskan darahku ke atas kanvas. Kupandangi lukisan ku yang kini sudah jadi dan
ku bandingkan dengan lukisan Abel. Senyum kepuasan merekah di wajahku.
Malam
ini, bayangan hitam itu kembali muncul di jendela kamarku “Apa yang kamu
lakukan disitu? Aku kira kamu lelah menggangguku” Masih seperti dulu, bayangan
itu hanya bergeming “Ah terserah kau saja, aku lelah bertanya padamu tapi kau
tak pernah menggubris pertanyaanku” Ku rebahkan tubuh di atas ranjang, menatap
langit-langit kamarku tapi aku sangat terkejut saat irisku mengunci bayangan
itu. Sejak kapan bayangan itu berada di atasku, berputar-putar di langit-langit
kamarku “Sebenarnya apa yang kau mau dariku?” Bayangan itu masih saja
berputar-putar di atasku. Aku semakin lelah melihatnya, tapi aku masih tidak
dapat memejamkan mataku. Pagi harinya mataku sedikit menghitam karena semalam
aku tak dapat tidur dengan nyenyak. Bayangan itu terus saja berputar di atasku
dan itu membuatku sangat tidak nyaman. Apa sebaiknya aku ceritakan saja pada
Zello? Tentang bayangan hitam yang selama ini selalu menggangguku?
Pikirku. Tapi sepertinya tidak perlu,
nanti Zello malah menganggap ku seperti anak kecil yang suka berfantasi.
Satu
minggu telah berlalu, aku sudah memiliki 2 buah lukisan yang akan kirim dalam
perlombaan. Waktu pengiriman kurang 3 hari lagi tapi aku masih merasa ada yang
kurang dengan lukisanku. Aku masih terbayang lukisan baru Abel kemarin,
lukisannya kemarin sangat berbeda. Sangat indah, sulit dijabarkan denga
kata-kata. Aku mulai merasa tidak yakin dengan kemampuanku tapi aku harus tetap
mengirimkan lukisanku besok. Toh Abel tidak mengikuti perlombaan ini jadi untuk
apa aku merasa cemas? Hari ini, tidak ada mata kuliah. Aku merasa suntuk berada
di kamar seharian. Ku ambil ponsel yang tergeletak di atas meja dan ku tekan
tombol pemanggil “Zello” terdengar nada sambung dari seberang tapi hingga
nadanya habis teleponku tak kunjung di angkat. Ku coba menelponnya sekali lagi
tapi hasilnya sama, tidak ada jawaban. Kuulang teleponku sampai 4 kali tapi
tetap saja Zello tidak mengangkat teleponku. Emosi mulai membuncah, akhir-akhir
ini Zello sangat sulit kuhubungi begitu juga Abel. Aku beranjak dari tempat
tidur menuju jendela, ku buka sedikit tirai jendela kamarku. Membiarkan
seberkas cahaya menembus kamarku yang temaram. Diluar sana, kulihat seekor
kucing kampung yang tengah melintas di depan rumah tetanggaku. Sepertinya
kucing itu kelaparan dan ingin mencari makan disana tapi dia tidak akan
mendapatkan makanan dan mungkin dia yang akan menjadi makanan karena tetangga
ku memelihara seekor anjing. Benar saja, belum sempat kucing itu masuk ke
halaman. Seekor anjing lebih dulu menerkamnya. Gigi-gigi anjing itu menancap
pada perut kucing, merobek perut kucing itu hingga isinya terburai. Kucing itu
tidak melakukan perlawanan sama sekali, mungkin kucing itu sudah lelah hidup
dan memilih pasrah menjadi kudapan anjing sebelah. Anjing itu meninggalkan
kucing yang kini tegeletak tak berdaya di jalan. Ususnya mencuat keluar, darah
mengalir bebas dari robekan perutnya. Kulihat darah segar yang terus mengalir
dari perut kucing itu, kuambil toples dan berlari keluar mendekati bangkai
kucing itu. Kuangkat tubuhnya, dan masukkan darah yang mengalir itu ke dalam
toples. Setelah terasa cukup, kubopong bangkai kucing itu dan ku buang bangkai
itu di tempat sampah. Ususnya menjulur keluar, darahnya masih menetes.
Meninggalkan noda merah pada bajuku. Ku amati darah kucing yang kini sudah
berada di meja belajarku, darahnya tidak terlalu menarik seperti darahku
kemarin. Tapi tetap saja aku akan menggunakan darah itu untuk melukis, untuk
membuat lukisanku lebih hidup.
Sudah
lebih dari 1 minggu Zello tidak menghubungiku, aku memutuskan untuk pergi ke
rumahnya tapi sesampainya disana tidak ada seorangpun. Seorang tetangga
memberitahuku bahwa Zello pergi ke tempat saudaranya seminggu yang lalu. Berhubung
Zello pergi, aku kembali pulang ke rumah. Betapa terkejutnya aku, saat ku
dapati lukisanku tergeletak di lantai. Tercabik-cabik, dan patah menjadi
beberapa bagian. Aku berteriak histeris “Kau kenapa?” Suara itu, aku sangat
mengenali suara itu. Ku balikan tubuh kea rah datangnya suara itu “Abel? Kamu
ngapain disini?” ku tatap Abel yang bersandar pada pintu kamarku “Entahlah, aku
hanya berkunjung ke rumahmu” ucapnya santai “Apa kamu yang menhgancurkan
lukisanku?” Ku tatap nyalang Abel, sebuah baying hitam muncul dari belakang
tubuh Abel. Bayangan yang selama ini terus menggangguku, mengikuti kemanapun
aku pergi. “Kau, sebenranya siapa kau Bel? Kenapa bayangan itu membuntutimu?”
Suaraku bergetar karena menahan tangis “Kau tak ingat padaku? Aku adalah
temanmu dulu? Teman semasa kecil yang selalu menemanimu kemanapun kamu pergi.
Teman yang telah kamu lupakan semenjak kamu mengenal Zello” kini Abel duduk
disebelahku “Teman masa kecil? Zello? Darimana kamu tahu tentang Zello? Tidak
kamu pasti tidak nyata Bel. Kamu hanya halusinasiku” Ku tutup telinga agar tak
data lagi mendengar kata-katanya tapi percuma saja, bahkan aku masih dapat
mendengar detak jantungnya seolah detak jantung kami menyatu “Tidak Anna, aku
ini nyata. Aku adalah teman masa kecil yang selama ini kamu tinggalkan dan kamu
acuhkan. Dan Zello, asal kamu tahu. Dia adalah kekasihku” Ucapnya sembari
mengelus rambutku. Kebiasaan yang sering Zello lakukan padaku “Tidak mungin kamu itu tidak nyata Abel dan
Zello. Zello bukan kekasihmu! Zello itu kekasihku!” Aku berdiri, ku ambil pisau
yang selalu ku simpan di dalam tas dan ku tancapkan pisau itu ke perut Abel
beberapa kali hingga akhirnya Abel terkapar tak berdaya di kamarku. Darahnya
mengalir di lantai kamarku, dan bayangan itu menghilang lagi. Saat aku akan
menyembunyikan mayat Abel, tiba-tiba ponselku berdering. Di layar tertera nama
Zello
“Halo
Zello, aku pengen ketemu kamu sekarang”
“Iya,
aku juga pengen ketemu kamu. Ini aku udah sampai di rumah kamu kok. Kamu
cepetan bukain pintu ya”
Tanpa
babibu, aku berlari menuju pintu dan membukakan pintu. Di luar Zello telah
berdiri menatapku panik “Ya ampun Anna, perut kamu kenapa berdarah” membutuhkan
beberapa detik bagiku mencerna kalimat Zello. Dan saat kumengerti apa yang
Zello katakana, ku raba perutku dan benar saja. Perutku mengeluarkan darah,
rasa nyeri menggerogoti tubuhku. Sejak kapan perutku berdarah? Bukankah
seharusnya yang berdarah itu Abel? Pikirku. Aku berlari ke kamar melihat
keadaan Abel, Zello mengikutiku dari belakang. Saat aku membuka pintu kamar,
aku tak melihat mayat Abel. Lantai di kamarku bersih, tidak ada darah Abel yang
ada hanya darah yang terus mengalir dari perutku. Kepalaku terasa pusing,
tubuhku lemah. Kakiku tak dapat lagi menopang berat badanku dan BRUK! Akupun
terjatuh pingsan.
Ku
edarkan pandanganku kesekeliling, ruangan ini serba putih. Di tanganku
tertancap selang infus. Sayup-sayup kudengar suara Zello di luar tengah
berbincang dengan seseorang “Iya dok, memang Annabel sejak kecil mempunyai
gangguan kepribadian. Dia dulu sering bercerita pada orang tuanya kalau dia
memiliki teman bernama Abel. Dia bilang Abel sangat menyukai darahnya, jadi
Anna sering menyakiti dirinya hanya untuk melihat darah keluar dari kulitnya.
Kejadian itu berlangsung hingga Anna remaja, karena orang tuanya sangat
khawatir pada kondisi Anna maka mereka membawa Anna ke tempat praktek saya.
Awal mulanya semua berjalan lancar dok hingga kedua orang tau Anna meninggal
dalam sebuah kecelakaan maut. Anna sangat terpukul karena kejadian itu dan
terus mengurung diri di dalam kamar, sesekali dia melukai dirinya sendriri
untuk mendapatkan rasa puas. Saya berusaha membuat dia melupakan kejadian masa
lalunya dan itu berhasil. Sudah 5 tahun Anna melupakan temannya itu, tapi saya
tidak mengerti kenapa Anna bisa kembali menciptakan tokoh Abel dalam hidupnya.
Saya hanya berharap Anda dapat membantu saya mengobati Anna. Sekedar membuat
Anna melupakan Abel” Aku baru ingat semuanya, awal mula perjumpaanku dengan
Zello. Awalnya Zello adalah Psikiater ku tapi karena orang tuaku meninggal
dalam sebuah kecelakaan maka Zello turut andil merawatku hingga akhirnya
benih-benih cinta itu tumbuh di antara kami. Ya itu awal mula kisah kami tapi
Abel. Aku masih tidak mengerti, apakah Abel hanya halusinasik saja atrau memang
dia benar-benar ada?
5
hari aku di rawat di rumah sakit, dan setelahnya aku boleh pulang tetapi aku
harus mengikuti sesi-sesi konsultasi dengan dokter yang merawatku. Konsultasi
untuk memulihkan jiwaku, untuk membuatku melupakan Abel dan sepertinya
berhasil. Aku sudah tidak lagi memikirkan Abel dan aku juga sudah tidak pernah
melihat bayangan hitam itu lagi. Hari-hari ku kini menjadi sangat normal tanpa
adanya Abel dan bayangan hitam yang selalu mengintiku kemanapun aku pergi. Dan
pagi ini aku akan bertemu dengan Zello di Restaurant dekat kampusku, Zello
bilang dia ingin mengatakan sesuatu. Kulangkahkan kakikku memasuki Restaurant
yang tampak sepi pengunjung, kulihat Zello duduk di bangku ujung dekat jendela
“Hai, lama nunggu ya?” Sapaku “Engga kok, cuma baru setengah jam” aku tertawa
mendengar ucapan Zello walau sebenarnya memang benar, aku terlambat setengah
jam dari perjanjian semula “Kamu mau ngomongin apa sih?” Zello nampak gugup,
dia berusaha mengeluarkan sesuatu dari sakunya “Setelah kamu wisuda, kamu mau
dampingin aku seumur hidup? Menjadi istriku?” diulurkannya sebuah kotak berisi
cincin. Aku membekap mulut tak kuasa menahan rasa haru. Aku hanya mengangguk
setuju, tak mampu berkata-kata. Air mata bahagia kembali membasahi pipiku. Ternyata
ini bukan sekedar lunch tapi Zello
memang sudah merencanakan ini untuk melamarku. Setelah makan siang aku dan
Zello pergi ke toko buku mencari buku tentang sejarah seni lukis. Saat
kulangkahkan kaki keluar Restaurant, diseberang kulihat seorang gadis berparas
cantik, kulitnya kuning langsat, rambutnya hitam bergelombang dan kakinnya
jenjang. Gadis itu menatap ke arahku dan tersenyum “Abel” bisikku “Ya Na. Kamu
tadi ngomong apa?” ucap Zello “Eh, enggak Lo. Aku enggak ngomong apa-apa kok”
jawabku, mataku masih tertuju pada gadis itu “yakin kamu enggak kenapa-kenapa?”
tanyanya meyakinkanku “Iya Zello, aku enggak apa-apa” jawabku, ku ukir sebuah
senyuman untuk meyakinkan Zello kalau aku baik-baik saja. Kami berjalan menuju
parkiran dan saat itu pula gadis itu menghilang. Abel? Apa benar itu tadi Abel?
Jadi Abel itu nyata? Entahlah…mungkin Abel memang nyata dan semua orang tidak
ada yang percaya padaku kalau Abel itu nyata. Sampai bertemu di lain waktu
Abel. Ucapku dalam hati..
~The End~
0 komentar:
Posting Komentar